Pendahuluan
Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu
al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah
kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia,
sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang
mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan
culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan
al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan
ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan
adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat.
Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih
berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi
dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud,
(1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud
kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan
Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan
Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di wahyukan
kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang semula
terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa
lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya
bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah
diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian
dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of
theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari
sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).
Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam” terutama wujud
idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi,
dalam islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi”
(nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan
kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa
manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika
umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu
dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam
diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki
peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para
pemikir muslim.
Dalam diskusi kali ini, saya akan membahas peradaban islam pada masa
Dinasti Abbasiyah dengan topik bahasan diantaranya, latarbelakang
berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, kemajuan dan kemunduran pada masa
ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan social.
Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah (750-847 M – 132-232 H)
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang
dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd
al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu);
sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di
Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip
dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi
Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama,
yaitu sekitar lima abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas.
Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur
(754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti
Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota
dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat
dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota
pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas
al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah
Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya
Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi
Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.
Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan
dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini
disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar
kota Baghdad.
Kemajuan Dinasti Bani Abbas
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase
pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan
kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda
karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang
bersangkutan.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari
beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang
sosial. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-khawarij di Afrika
utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa
serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
2. Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di
sector pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan
seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit
antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan. Bahsrah menjadi
pelabuhan yang penting.
3. Bidang Sosial
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun
(813-833 M). kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun Al-Rasyid untuk
keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi
didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter.
Disamping itu pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang
paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan social,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta
kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang
besar sekali, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind
dan berakhir di negeri Spanyol. Ia demikian kuatnya sehingga apabila
seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat bahwa usaha
mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun
jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi
oleh sejumlah besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak
sedikitpun memperoleh penghargaan dan simpati dalam hati mereka. Itulah
sebabnya belum sampai berlalu satu abad dari kekuasaan mereka, kaum Bani
Abbas berhasil menggulingkan singgasananya dan mencampakannya dengan
mudah sekali. Dan ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula para
rajanya, tidak seorangpun yang meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani
Abbas ialah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada
umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang paling dekat kepada Nabi
saw, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah rasul
dan menegakkan syari’at Allah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun
oleh Abu al Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari
dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi
(775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun
(813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan
al-Mutawakkil (847-861 M).
Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan
ilmu. Ia banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan
ilmuwan dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh
Anushirvan pada tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut
dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu
kedokteran, obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode
pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah. disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas
dan Bani Umayyah.
Kehancuran Dinasti Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah
Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada diantaranya dinasti
yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para
khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan
tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan
tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang
disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak dating secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini
sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri
cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan
satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-saama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua sebab
dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada
masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab
sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan
demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas `ashabiyyah
tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di
tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah
bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir,
Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa
Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut
elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya,
disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain
yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena
para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil,
seorang khlaifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak
terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan
Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.
Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak
hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun,
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan
Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat,
diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat
melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena
cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan
Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan
menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas,
sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang
ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
dari kedua belah pihak.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung
dibalik ajaran Syi`ah, sehingga banyak aliran syi`ah yang dipandang
ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah sendiri.
Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan faham Ahlussunnah wal Jama`ah.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara
muslim dan zindik atau ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga
antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional dituduh
sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh
perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai
soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu
kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih
besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai
hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak
bebas manusia …telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam
Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah
mustahil berbuat salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping
itu, ada pula factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana
telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut
berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen
yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon
yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam
tentara Salib itu.13
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan
bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam
karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol
yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab.
Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut
memperbaiki yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni
kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga
menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut. Bahkan
kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi.
Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi
pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur,
terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib
imperium Abbasiyah.
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi
menjadi sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada
putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang
bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak
menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun,
al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya
sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin
didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus
berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan
dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan
saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813. Namun
peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi
lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang
tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan
tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan
menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang
telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru
menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun
juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan
secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima
khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur
khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh
imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat
diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang
bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat
diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah
propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat
ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit
dibawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya
imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa
gubernuran besar.14
DAFTAR PUSTAKA
Abul a ‘la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung, Mizan, 1998)
Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006)
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung, Mizan,
1995)
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)
Jaih Mubarok, Dr., M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004)
John L. Esposito (ed), The Oxpord History of Islam, (New York, Oxpord University Press 1999)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Gramedia, Jakarta,1985)
M.Natsir, Capita Selecta, NV Penerbitan W. van Hoeve, tanpa tahun
Philip K. Hitti, History of The Arabs (London : Mac Millan, 1970)
W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta : P3M, 1988)
disadur dari : ratnaningsih